hukum syara' atas mushafahah

“Sekali-kali dong pake jeans!”



“Gak bosen tuh gamisan terus?”



Saya bukan pengamat mode. Bukan pula psikolog yang mafhum kaitan busana dan psikologi pemakainya. Jadi jangan pernah tanyakan kepada saya kenapa ikhwan kerap berbaju koko dan bercelana bahan bahkan anti jeans, atau kenapa sebagian akhwat ada yang anti kulot. Hanya kebetulan pernah aktif di Rohis semasa SMA sampai kuliah tak berarti pertanyaan itu mudah dijawab. Jika pernah sampai jabatan elite–kata sebagian orang–rasanya karena aliran kehidupan itu sendiri. Jika sampai disebut “ikhwan” yang konon berkonotasi dengan “aktivis Islam” rasanya sempat geli dan malu sendiri. Selalu yang terbayang di benak adalah Ikhwanul Muslimin (Persaudaraan Muslim) di Mesir yang kisah-kisah keikhlasan dan mujahadahnya luarbiasa mengagumkan. Ah, sementara saya? Amat jauhlah itu!


Kadang teman yang heran dengan “keunikan” saya sering menegur,”Antum ikhwan bukan sih?”



Untuk pertanyaan ini, jawab saya selalu seperti ini,”Ya, iyalah. kan belum ganti kelamin!” Hehe…Ya, kita kembalikan saja pengertian “ikhwan” pada makna etimologi dasarnya dalam bahasa Arab, saudara laki-laki. Ya, to?



Awal keterlibatan di Rohis pun berbau kebetulan. Kebetulan di almamater saya, sebuah SMA negeri di Jakarta Selatan–yang satu gang dengan basecamp group Slank–hanya ada dua fasilitas perpustakaan: perpustakaan sekolah dan perpustakaan masjid. Sebagai penghobi buku dan berasal dari keluarga pas-pasan, ini surga betul. Sayang, perpustakaan sekolah amat disayang sama penjaganya, Pak Komar. Jarang sekali pintunya dibuka. Kerapkali terkunci rapat. Sementara koleksi bukunya yang lengkap hanya indah dipandang dari balik jendela. Ah, masak buku diperlakukan seperti ikan sih! Kondisi ini berlanjut sampai saya lulus. Entahlah, adik-adik kelas saya mungkin saat ini lebih beruntung. Terakhir saya dengar SMA 55 ditetapkan sebagai SMA Plus Standar Kotamadya Jakarta Selatan. Yah, ada bekasnyalah sebagai eks SMA filial dari SMA Negeri 8 Jakarta yang tersohor itu. Atau setidaknya dikenang sebagai almamaternya artis Titi DJJ .



Nah, masih soal perpustakaan, tiada pilihan lain, nongkronglah saya di perpustakaan masjid. Terpikat dengan buku Maurice Bucaille, Mustafa Mansyur, Hasan An-Nadawi dengan bukunya “Kenapa Ummat Islam Mundur dan Ummat Lain Maju?” atau Muhammad Quthb dengan “Jahiliyah Abad 21″-nya yang legendaris di kalangan aktivis masjid. Apalagi senior-senior rohis bikin les pelajaran eksakta gratis (Fisika, Kimia dan Matematika). Maklum kebanyakan mereka dari jurusan Eksakta (Fisika dan Biologi). Itu makanya saya terseret juga, ikut-ikutan pilih jurusan Fisika kendati lebih suka psikologi, sejarah dan sastra. Ketika kuliah pun, pilih Sastra Inggris eh ‘ndilalah jebolnya di Fakultas Kesehatan Masyarakat UI yang termasuk jurusan IPA. Ya, sudah nasib, jalani saja…Termasuk ketika sempat nyantri sebentar di sebuah akademi bahasa Arab dengan kurikulum Timur Tengah, Ma’had Utsman bin ‘Affan, di bilangan Jakarta Timur.



Saking sering nongkrong di perpustakaan masjid termasuk jam olahraga–maklum tak becus main basket atau voli–jika tak didamprat guru olahraga, saya dipercayakan jadi pengurus perpustakaan. Itu jabatan resminya. Sebenarnya sih jadi penjaga perpustakaan. Lumayan, pegang kunci perpustakaan. Kapan saja mau baca, boleh. Demikian karir organisasi terus mengalir, sampai sempat menjabat Ketua Seksi Dakwah. Meski saat itu, tahun ‘95an, satu Rohis heboh ketika saya terlihat membaca bukunya Nurcholis Madjid.



Ya, saat itu perdebatan Cak Nur dan Daud Rasyid mengenai Islam Pembaruan pada 1993 masih cukup bergema selepas “pengadilan ummat” terhadap Cak Nur di Masjid TIM, Jakarta. Dan nama Cak Nur punya catatan tersendiri di kalangan rekan-rekan rohis. Sekulerlah, kafirlah dll.Sebagai pembaca eklektik, saya punya pandangan sendiri. Namun cukup tahu diri dengan tidak terlalu frontal menentang suara mayoritas saat itu. Alhasil, cukup berkompromilah dengan sering nenteng buku-bukunya Sayyid Quthb, Hasan Al Banna atau Abul A’la Al Maududy. Meski di luaran kerap baca-baca Mira W, Pramoedya Ananta Toer atau Tan Malaka.



Itu soal selera baca. Soal berbusana, tak jauh beda.Mungkin saat itu saya satu-satunya aktivis Rohis di SMA saya yang senang pakai jeans dan kaos oblong. Sampai-sampai ada kejadian unik sewaktu Ospek di UI. Waktu itu, selepas acara mentoring di fakultas yang merupakan acara wajib bagi mahasiswa baru, saya berkenalan dengan seorang mahasiswa baru. Sebutlah namanya Budi, alumni SMA 29, Jakarta. Kelak ia jadi the best friend of mine in my life! Saat kami ngobrol, ia sering sekali menatap mata saya dalam-dalam. Karena agak risih (ya, iyalah, kok cowok ngeliatnya begitu!), saya bertanya, “Kenapa sih?”



“Ente ikhwan?”



“Maksudnya?” Jujur pertanyaan ini selalu membingungkan saya, karena sangat tergantung konteks dan siapa penanyanya.



“Iya, aktif di Rohis?” O, itu to arahnya, pikir saya.



“Iya,” angguk saya.



“Kok pake jeans sih, Akh?” tanyanya lagi dengan wajah heran.



Saya terdiam.Mau bilang apa ya. Wong, koleksi baju saya sedikit. Baju koko kan lumayan tinggi juga harganya. Sementara jeans dan kaos bisa multi-purpose dan awet dikenakan. Tak dicuci dua minggu pun tidak tampak kotor-kotor amat. Itu saja sih alasannya. Tidak ada kaitannya dengan ideologi atau apapun.



“Ente ikhwan nyamar ya?” tanyanya lagi, agak menyergah. Nah, lho! Beberapa tahun kemudian saya baru paham. Saat itu konon banyak aktivis rohis unggulan dari beberapa sekolah yang ‘eksistensi kerohisannya’ sengaja disamarkan sehingga mereka bisa leluasa memasuki organisasi apapun termasuk organisasi mahasiswa kiri. Infiltrasi atau penyusupan, istilah intelijennya. Menjelang ‘96, suasana pertarungan ideologi di kalangan mahasiswa memang mulai terasa. Puncaknya pada tahun ‘98. Jatuhnya Soeharto adalah titik temu kedua pergerakan. Sedikit banyak saya turut berperan, kendati hanya jadi petugas dapur umum di DPR/MPR sewaktu gedung parlemen itu diduduki mahasiswa untuk mendesak parlemen menuntut mundur Soeharto.



Klasifikasi Akhwat



Sekian lama aktif di Rohis, saya mengalami evolusi pemikiran tentang akhwat. Dari sebuah kata yang netral “akhwat” yang artinya “saudara perempuan” menjelma menjadi kata yang penuh nuansa haroki, perjuangan dan ideologis.



Dulu saya kira semua perempuan yang berjilbab sudah dapat dikategorikan sebagai akhwat. Simpel. Sesimpel saya mendefinisikan ikhwan sebagai “lelaki yang aktif di organisasi Islam dan berakhlak baik”. Tapi ternyata kenyataan yang ada tidak sesimpel pemikiran atau tesis saya tersebut.



“Kok si fulanah nggak diajak?” tanya saya menjelang rapat rohis SMA kepada seorang rekan kerja yang berjilbab.



Spontan akhwat itu menukas,”Antum gimana sih? Dia kan bukan akhwat!”



Saya bingung. Berjilbab tapi bukan akhwat.”Lho? Kenapa?”



“Habis dia masih sering pake jeans!” jelas si akhwat tegas. Saya manggut-manggut. Mulai paham, meski agak bingung juga.



Seiring waktu, saya menyadari betapa kompleks istilah “akhwat” itu. Dari kata ‘akhwat” terdapat beragam penafsiran dan jenjang. Secara sosiologis, ada tiga derajat akhwat:

1. Akhwat ‘ammah (asal kata: ‘amm, biasa atau umum). Ini umumnya predikat bagi kaum Muslimah yang baru mulai aktif dalam kegiatan keislaman atau rohis. Mereka rata-rata belum berjilbab. tapi setidaknya berpakaian sopan dan panjang-panjang.

2. Akhwat hanif (lurus). Ini istilah bagi Muslimah yang sudah berjilbab namun perilakunya belum sesuai dengan jilbabnya, misal: masih pacaran, masih mejeng atau nyontek de el el. Tapi kadang Muslimah yang belum berjilbab pun digolongkan dalam kategori ini, tergantung kadar komitmennya, katanya. Umumnya akhwat jenis ini sudah rutin atau punya akses ikut pengajian tarbiyah atau mentoring.

3. Akhwat (tanpa embel-embel!). Ini derajat tertinggi, akhwat idaman. Kriteria umumnya: berjilbab panjang dan lebar bak taplak meja; aktif tarbiyah atau liqo’ dan sangat ketat dalam perilaku keseharian. Inilah garda terdepan dalam motor organisasi dan sudah dapat merekrut dan membimbing dua tipe akhwat sebelumnya. Inilah kader-kader terpilih yang siap tempur siang malam untuk sebuah qoror (perintah) tanzhim (jalur organisasi), dan siap pasang badan dipukuli aparat dalam aksi-aksi demonstrasi massa atau beradu argumentasi di forum-forum diskusi..



Konon jenjang ikhwan juga tak jauh berbeda, kendati lebih simpel. Sesimpel pakaian rekan-rekan kuliah saya: baju koko atau kemeja lengan panjang, celana bahan di atas mata kaki dan sepatu sandal atau sandal gunung. Ada yang bergaya metropolis atau sedikit metroseksual, sebut saja ia:ikhwan borju!J



Kategorisasi di atas memang tidak resmi dan relatif, namun kongkret. Tidak terucap namun terasa. Akhwat “hanif” umumnya tidak “seketat” akhwat tipe 3 yang selalu berjilbab panjang dan lebar. Akhwat “hanif” apalagi akhwat “‘ammah” masih sering kedapatan berpakaian yang menonjolkan lekuk tubuh atau bergaya trendy dan modis. Implikasinya nampak pada perilaku keseharian baik pada perbedaan gaya bicara, selera obrolan atau jenis kegiatan pengisi waktu. Kosakata di kalangan jilbaber juga kaya dengan istilah-istilah semisal “jilbab trendy”; “jilbab modis” atau “akhwat macho” dll. Yang sayangnya kerap membuat jarak antara ketiga kelompok tersebut.



Ada kasus seorang Muslimah yang berniat betul mempelajari Islam melalui mentoring mendadak futur (istilah untuk Dropped Out) dari kegiatan pekanan itu hanya karena tidak tahan disindir rekan satu lingkarannya karena masih senang pakai jeans atau hobi mendengarkan musik pop atau musik Barat. Atau karena kepergok nonton di bioskop 21 semata-mata karena dia moviefreak. Kendati ia hanya nonton sendirian. Banyak lagi kasus-kasus yang tampaknya sepele, namun cukup banyak terjadi. Padahal karya Dr. Yusuf Qaradhowi Fiqhul Awlawiyat, Fikih Prioritas, sudah jadi bacaan wajib, tapi entah mengapa asas fiqh muwazanat (pertimbangan sesuai kondisi dakwah dan lokalitas) kerap diabaikan. Inilah yang kerap mengganggu citra ikhwan dan akhwat yang sejatinya adalah orang-orang yang tulus-ikhlas, penuh cinta dan berdisiplin spartan. I swear by the God!



Ah, sampai sekarang kata “akhwat” itu masih terdengar rumit bagi saya, mungkin serumit dunianya. Namun, yang mesti jadi pegangan bersama adalah bahwa ukhuwah itu lebih utama, karena nahnu muslimun qobla kulli sya’iin, kita adalah Muslim/Muslimah sebelum segala sesuatu. Selama masih berpegang pada satu Allah dan satu Qur’an dan mengakui Nabi Muhammad sebagai khotamun nabiyyin (nabi penutup), itulah Muslim/Muslimah yang punya hak-hak untuk dihargai dan dikasihi. Inilah basis untuk menyayangi orang lain di luar diri kita atau golongan kita. Inilah sebuah basis kasih sayang universal.



“Islam itu mudah, maka masukilah dengan mudah.
.” (Al Hadits).